BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Hasil
belajar siswa bukan hanya sekedar angka yang di hadiahkan oleh guru untuk siswa
atas kegiatan belajarnya. Hasil belajar merupakan ukuran kuantitatif yang
mewakili kemampuan yang dimiliki oleh siswa. Untuk itu tes hasil belajar (THB)
sebagai dasar untuk memberikan penilaian hasil belajar seharusnya memiliki
kemampuan secara nyata menimbang secara adil “bobot” kemmpuan siswa.
Siswa
sering mengeluhkan ketidakpuasannya terhadap perolehan hasil belajar. Beberapa merasa
mampu, siap dalam ujian dan belajar bersungguh-sungguh namun hasil belajarnya
rendah. Beberapa yang lain menyadari tidak begitu menguasai, tidak siap dalam
ujian dan tidak terlalu bersungguh-sungguh dalam usahanya namun memperoleh
hasil belajar yang tinggi. Dalam keadaan ini siswa tidak dapat menemukan
hubungan antara kemampuan akademis (ability)
dan usaha (effort) dengan hasil
belajar (achievement) yang akan
menimbulkan sikap apatisme siswa terhadap proses dan hasil belajar. Akibatnya siswa memilih menyerahkan takdir,
nasib dan keberuntungannya pada hal-hal yang tidak stabil, eksternal dan tidak
terkontrol. Siswa tidak mempunyai kemauan yang kuat untuk belajar karena hasil
belajar telah kehilangan daya tariknya sebagai sumber harga diri. Ketika hasil
belajar tidak lagi sesuai dengan ekspetasi siswa maka kesuksesan menjadi tidak
bernilai. Keberhasilan tidak menimbulkan kebanggaan dan kegagalan tidak menjadi
hal yang memalukan. Sebagian disebabkan oleh keraguan bahwa THB yang digunakan
untuk mengukur dan menjadi dasar untuk menilai hasil belajar tidak menimbang
secara adil siswa dalam kemampuannya.
Setiap
alat ukur yang hendak digunakan untuk mengukur, termasuk THB, harus dipastikan
kemampuannya untuk mengukur secara baik. Oleh karenanya THB harus dibuat dengan
prosedur pengembangan yang menjamin dapat diperoleh kualitas THB yang baik.
Dari THB yang baik dapat diukur dan dikumpulkan data hasil belajar yang baik.
Keputusan hasil penilaian hasil belajar dapat dilakukan dengan tepat hanya
apabila didasarkan pada data hasil belajar yang baik. Penilaian hasil belajar
dilakukan berdasarkan hasil pengukuran menggunakan THB. Ketepatan penilaian
sangat tergantung kepada akurasi hasil pengukuran THB. Akurasi hasil pengukuran
tergantung pada kecermatan THB melakukan pengukuran. Untuk itu guru penilai
harus memiliki keterampilan mengembangkan alat ukur pengumpulan data hasil
belajar berupa tes hasil belajar (THB).[1]
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana definisi prosedur pelaksanaan
tes hasil belajar ?
2. Bagaimana prosedur pelaksanaan tes
tertulis ?
3. Bagaimana prosedur pelaksanaan tes lisan
?
4. Bagaimana prosedur pelaksanaan tes
perbuatan ?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Definisi Prosedur Pelaksanaan Tes Hasil Belajar
Berdasarkan kamus besar bahasa indonesia (KBBI),
Istilah-istilah dari prosedur pelaksanaan tes hasil belajar antara lain:
·
prosedur
adalah perincian langkah-langkah dari sistem dan rangkaian kegiatan yang saling
berhubungan erat satu sama lainnya untuk mencapai tujuan tertentu.
·
Pelaksanaan
yakni suatu tindakan untuk mengusahakan agar semua anggota kelompok berusaha
untuk mencapai sasaran yang sesuai dengan perencanaan manajerial dan
usaha-usaha organisasi. Jadi pelaksanaan tersebut adalah menggerakkan
orang-orang agar mau bekerja dengan sendirinya atau dengan kesadaran secara bersama-sama
untuk mencapai tujuan dikehendaki secara efektif.
·
Tes
merupakan cara yang dapat digunakan atau prosedur yang dapat ditempuh dalam
rangka pengukuran dan penilaian yang dapat berbentuk pemberian tugas, atau
serangkaian tugas sehingga dapat dihasilkan nilai yang dapat melambangkan
prestasi.
·
Hasil
belajar mendefinisikan hasil belajar siswa pada hakikatnya adalah perubahan
tingkah laku sebagai hasil belajar dalam pengertian yang lebih luas mencakup
bidang kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Pekerjaan mengevaluasi ada prosedur
tersendiri, meskipun perlu untuk ditekankan, bahwa pekerjaan mengevaluasi itu
lebih tepat untuk dipandang sebagai suatu proses yang kontinu. Suatu kontinous
proses yang tidak terputus-putus, tetapi ada gunanya juga mengetahui prosedur
apa sajakah yang merupakan titik-titik penghubung dari proses yang bersifat
kontinu tadi.
Pengetahuan tentang fungsi dalam
keseluruhan proses evaluasi akan memungkinkan kita memperoleh gambaran yang
cukup jelas tentang sistematik pekerjaan evaluasi pada umumnya. Bayangan yang
ada pada diri kita mengenai dalam rangka pekerjaan evaluasi ini sudah ada pada
kita, akan lebih memudahkan bagi kita untuk membangunkan suatu sistem evaluasi
yang dapat dipertanggungjawabkan dalam suatu lingkungan pendidikan tertentu.
Dalam praktek, pelaksanaan tes hasil
belajar dapat diselenggarakan secara tertulis (tes tertulis), dengan secara
lisan (tes lisan) dan dengan tes perbuatan.[2]
Pada tes tertulis, soal-soal tes
dituangkan dalam bentuk tertulis dan jawaban tes juga tertulis. Pada tes lisan,
soal-soal tes diajukan secara lisan dan dijawab secara lisan pula. Namun
demikian dapat juga soal-soal tes diajukan secara lisan dalam waktu yang
ditentukan, jawaban harus dibuat secara tertulis. Adapun pada tes perbuatan,
wujud soal tesnya adalah pemberian perintah atau tugas yang harus dilaksanakan
oleh testee, dan cara penilaiannya dilakukan terhadap proses penyelesaian tugas
dan hasil akhir yang dicapai setelah testee melaksanakan tugas tersebut.[3]
2.
Prosedur Pelaksanaan Tes Tertulis
Dalam
melaksanakan tes tertulis ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian, yaitu
sebagaimana dikemukakan berikut ini.
Pertama,
agar dalam mengerjakan soal tes para peserta tes mendapat ketenangan,
seyogyanya ruang tempat berlangsungnya tes dipilihkan yang jauh dari keramaian,
kebisingan, suara hiruk pikuk dan lalu lalangnya orang. Adalah sangat bijaksana
apabila diluar ruangan tes dipasang papan pemberitahuan.
Kedua,
ruangan tes harus cukup longgar, tidak berdesak-desakan, tempat duduk diatur dengan
jarak tertentu yang memungkinkan tercegahnya kerja sama yang tidak sehat di
antara testee.
Ketiga,
ruangan tes sebaiknya memiliki sistem pencahayaan dan pertukaran udara yang
baik. Ruangan yang gelap atau remang-remang disamping menyulitkan testee dalam
membaca soal dan menuliskan jawabannya, juga akan menyulitkan bagi tester atau
pengawas tes dalam menunaikan tugasnya. Ruang tes yang terlalu terang atau
terlalu menyilaukan mata, disamping dapat menimbulkan udara panas juga dapat
menyebabkan testee cepat menjadi letih.
Keempat,
jika dalam ruangan tes tidak tersedia meja tulis atau kursi yang memiliki alas
tempat penulis, maka sebelum tes dilaksanakan hendaknya sudah disiapkan alat
berupa alas tulis yang terbuat dari triplek, handboard atau bahan lainnya,
sehingga testee tidak harus menuliskan jawaban soal tes yang diletakkan di atas
paha sebagai alas tulisnya.
Kelima,
agar testee dapat memulai mengerjakan soal tes secara bersamaan, hendaknya
lembar soal-soal tes diletakkan secara terbalik, sehingga tidak memungkinkan
bagi testee untuk membaca dan mengerjakan soal lebih awal daripada
teman-temannya. Dalam hubungan ini testee harus diberi bahwa mereka baru boleh
memulai mengerjakan soal tes setelah tanda waktu mulai bekerja diberikan.
Keenam,
dalam mengawasi jalannya tes, pengawas hendaknya berlaku wajar. Artinya jangan
terlalu banyak bergerak, terlalu sering jalan-jalan dalam ruangan tes sehingga
mengganggu konsentrasi testee. Sebaliknya, pengawas tes juga jangan selalu
duduk dikursi sehingga dapat membuka peluang bagi testee yang tidak jujur untuk
bertindak curang (kerja sama dengan testee menyontek). Jika pengawas lebih dari
satu sebaiknya berpencar dan jangan bercakap-cakap karena dapat mengganggu
ketenangan jalannya tes.
Ketujuh,
sebelum berlangsungnya tes, hendaknya sudah ditentukan lebih dahulu sanksi yang
dapat dikenakan kepada testee yang berbuat curang. Sanksi itu dapat berupa
tindakan mengeluarkan testee dari ruangan tes karenanya tesnya dianggap gugur,
atau dengan jalan membuat berita acara tentang terjadinya kecurangan tersebut.
Kedelapan,
sebagai bukti mengikuti tes, harus
disiapkan daftar hadir yang harus ditandatangani oleh setiap peserta didik.
Dalam mengedarkan daftar hadir tes itu hendaknya diusahakan agar tidak
mengganggu ketenangan jalannya tes.
Kesembilan,
jika waktu ang ditentukan telah habis
hendaknya testee diminta untuk menghentikan pekerjaannya dan secepatnya
meninggalkan ruangan tes. Kemudian pengawas tes hendaknya segera mengumpulkan
lembar-lembar pekerjaan (jawaban) tes seraya meneliti, jumlah lembar jawaban
tes itu sudah sesuai dengan testee yang tercantum dalam daftar hadir tes.
Kesepuluh,
untuk mencegah timbulnya berkaitan di
kemudian hari, pada berita acara
pelaksanaan harus dituliskan secara lengkap, berapa orang testee yang hadir dan
siapa yang tidak hadir, dengan menulis jumlahnya dan mengurutkan sesuai dengan
nomor urut, nomor induk, nomor ujian, dan lan sebagainya, dan apabila terjadi
penyimpangan atau kelainan-kelainan harus dicatat dalam lembar acara
pelaksanaan tes tersebut.[4]
3.
Prosedur Pelaksanaan Tes Lisan
Beberapa petunjuk
praktis berikut ini kiranya akan dapat dipergunakan sebagai pegangan dalam
pelaksanaan tes lisan.
Pertama,
sebelum tes lisan dilaksanakan, seyogyanya tester sudah melakukan inventarisasi
berbagai jenis soal yang akan diajukan kepada testee dalam tes lisan tersebut,
sehingga tes lisan dapat diharapkan memiliki validitas yang tinggi, baik dari
segi isi maupun konstruksinya.
Kedua,
sebab butir soal yang telah ditetapkan untuk diajukan dalam tes lisan itu, juga
harus disiapkan sekaligus pedoman atau ancar-ancar jawaban betulnya.
Hal ini dimaksudkan
agar tester disamping mempunyai kriteria yang pasti dalam memberikan skor atau
nilai kepada testee atas jawaban yang mereka belikan dalam tes lisan tersebut,
juga tidak akan terpukau atau terkecoh dengan jawaban panjang lebar atau
terbelit-belit yang diberikan oleh testee, yang menurut anggapan testee
merupakan jawaban betul dan tepat, padahal menurut kriteria yang telah
ditentukan sesungguhnya sudah menyimpang atau tidak ada hubungannya dengan soal
yang diajukan kepada testee.
Ketiga,
jangan sekali-kali menentukan skor atau nilai hasil tes lisan setelah seluruh
testee menjalani tes lisan. Skor atau nilai hasil tes lisan harus sudah dapat
ditentukan di saat masing-masing testee selesai dites. Hal ini dimaksudkan agar
pemberian skor atau nilai hasil tes lisan yang diberikan kepada testee itu
tidak dipengaruhi oleh jawaban yang diberikan oleh testee yang lain.
Keempat,
tes hasil belajar yang dilaksanakan secara lisan hendaknya jangan sampai
menyimpang atau berubah arah dari evaluasi menjadi diskusi. Tester harus
senantiasa menyadari bahwa testee yang ada di hadapannya adalah testee yang
sedang “diukur” dan di “nilai” prestasi belajarnya mereka menempuh proses
pembelajaran dalam jangka waktu tertentu. Dengan demikian apabila terjadi bahwa
jawaban yang diberikan oleh testee yang sekalipun menyimpang dari kriteria yang
telah ditentukan, namun sebenarnya tidak dapat disalahkan atau tidak sepenuhnya
salah, cukup diberikan skor atau nilai dan tidak perlu disangkal atau
diperdebatkan, yang dapat mengakibatkan kegiatan evaluasi berubah menjadi
kegiatan diskusi.
Kelima,
dalam rangka menegakkan prinsip obyektivitas dan prinsip keadilan, dalam tes
yang dilaksanakan secara lisan itu, tester hendaknya jangan sekali-kali
“memberikan angin segar” atau “ memancing-mancing” dengan kata-kata,
kalimat-kalimat atau kode-kode tertentu yang sifatnya menolong testee tertentu
alasan “kasihan” atau karena tester menaruh “rasa simpati” kepada testee yang
ada dihadapannya itu. Menguji, pada hakikatnya adalah “mengukur” dan bukan
“membimbing” testee.
Keenam,
tes lisan harus berlangsung secara wajar. Pernyataan tersebut mengandung makna
bahwa tes lisan itu jangan sampai menimbulkan rasa takut, gugup atau panik di
kalangan testee. Karena itu, dalam mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada
testee, tester harus menggunakan kata-kata yang halus, bersifat sabar dan tidak
emosional. Penggunaan kalimat-kalimat yang sifatnya “menteror”, yang dapat
menimbulkan tekanan psikis pada diri testee, haruslah dicegah.
Ketujuh,
sekalipun acapkali sulit untuk dapat
diwujudkan, namun sebaiknya tester mempunyai pedoman atau ancar-ancar yang
pasti, berapa lama atau berapa waktu yang disediakan bagi tiap peserta tes
dalam menjawab soal-soal atau pertanyaan-pertanyaan pada tes lisan tersebut.
Harus diusahakan terciptanya keseimbangan
alokasi waktu, antara testee yang satu dengan testee yang lain.
Kedelapan,
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan
dalam tes lisan hendaknya dibuat bervariasi, dalam arti bahwa sekalipun inti
persoalan yang ditanyakan itu sama, namun cara pengajuan pertanyaannya dibuat
berlainan atau beragam. Hal ini dimaksudkan agar testee yang dites lebih akhir
(karena sudah memperoleh “informasi” dari testee yang telah dites terdahulu).
Jangan sampai “memperoleh nasib yang lebih mujur” ketimbang testee yang dites
lebih awal.
Kesembilan,
sejauh mungkin dapat diusahakan agar tes
lisan itu berlangsung secara individual (satu demi satu). Hal ini dimaksudkan
agar tidak mempengaruhi mental testee yang lain. Misalnya, apabila dalam tes
lisan itu secara serampak tester berhadapan dengan dua orang testee atau lebih
dan pertanyaan yang sedang diajukan kepada testee yang mendapat kesempatan
lebih awal tidak mungkin dapat dijawab oleh testee berikutnya, maka mental
testee yang belum dites itu akan menjadi menurun sehingga akan mempengaruhi
jawaban-jawaban berikutnya. Kecuali itu hal tersebut di atas juga dimaksudkan
agar tidak memberikan “angin segar” kepada testee yang belum dites, sebab
mereka mempunyai kesempatan yang lebih luas untuk menyiapkan jawabannya
ketimbang testee yang sedang atau sudah selesai dites.[5]
4.
Prosedur Pelaksanaan Tes Perbuatan
Tes perbuatan pada
umumnya digunakan untuk mengukur taraf kompetensi yang bersifat keterampilan
(psikomotorik), dimana penilaiannya dilakukan terhadap proses penyelesaian
tugas dan hasil akhir yang dicapai oleh testee setelah melaksanakan tugas
tersebut.
Karena tes ini
bertujuan ingin mengukur keterampilan, maka sebaiknya tes perbuatan ini
dilaksanakan secara individual. Hal ini dimaksudkan agar masing-masing individu
yang dites akan dapat diamati dan dinilai secara pasti, sejauh mana kemampuan
atau keterampilannya dalam melaksanakan tugas yang diperintahkan kepada masing-masing
individu tersebut. Dalam melaksanakan tes perbuatan itu, ada beberapa hal yang
perlu diperhatikan oleh tester.
Pertama, tester harus
mengamati dengan secara teliti, cara yang ditempuh oleh testee dalam
menyelesaikan tugas yang telah ditentukan.
Kedua, agar dapat
dicapai kadar obyektivitas setinggi mungkin, hendaknya tester jangan berbicara
atau berbuat sesuatu yang dapat mempengaruhi testee yang sedang mengerjakan
tugas tersebut.
Ketiga, dalam mengamati
testee yang sedang melaksanakan tugas itu, hendaknya tester telah menyiapkan
instrumen berupa lembar penilaian yang didalamnya telah ditentukan hal-hal apa
saja yang harus diamati dan diberikan penilaian.[6]
BAB III
ANALISIS
Prosedur pelaksanaan tes hasil belajar dalam
pendidikan dapat diselenggarakan secara tertulis (tes tulis), dengan secara
lisan (tes lisan) dan tes perbuatan. Prosedur pelaksanaan tes hasil belajar
disini adalah teknik atau tata cara dalam pelaksanaan berlangsungnya suatu
pengukuran kemampuan belajar peserta didik melalui tes tulis, tes lisan, serta
tes perbuatan. Prosedur pelaksanaan tes hasil belajar dapat dilakukan dengan
efektif berdasarkan yang telah dipaparkan oleh pemakalah yang acuan pengambilan
materinya bersumber dari buku-buku evaluasi pendidikan. Dengan demikian pelaksanaan
tes hasil belajar akan berjalan dengan baik dan pendidikan juga akan
menghasilakan skor nilai hasil belajar dengan tepat.
Pelaksanaan tes hasil belajar perlu diperhatikan
terpenuhinya syarat-syarat yang memadai, berupa baik dari segi keadaan dan perlengkapan
pada umumnya serta pengawasan pada khususnya. Pelaksanaan tes hasil belajar ini
adalah salah satu langkah evaluasi pendidikan, yang mana evaluasi itu adalah
alat untuk mengukur sejauh mana kemampuan peserta didik mengalami perkembangan
melalui proses belajar mengajar.
BAB IV
PENUTUP
1. Definisi prosedur pelaksanan tes hasil
belajar merupakan langkah-langkah dalam suatu tindakan untuk mengusahakan yang
dapat ditempuh dalam langkah pengukuran dan penilaian yang pada hakikatnya
adalah perubahan tingkahlaku sebagi hasil belajar yang mencakup bidang
kognitif, afektif, psikomotorik sehingga dapat di hasilkan nilai yang
melambangkan prestasi.
2. Prosedur pelaksanaan tes tertulis
Dalam melaksanakan tes tertulis ada beberapa hal
yang perlu mendapat perhatian, yaitu sebagaimana dikemukakan berikut ini.
a.
Agar dalam mengerjakan soal tes para peserta
tes mendapat ketenangan, seyogyanya ruang tempat berlangsungnya tes dipilihkan
yang jauh dari keramaian, kebisingan, suara hiruk pikuk dan lalu lalangnya
orang. Adalah sangat bijaksana apabila diluar ruangan tes dipasang papan
pemberitahuan.
b.
Ruangan tes harus cukup longgar, tidak
berdesak-desakan, tempat duduk diatur dengan jarak tertentu yang memungkinkan
tercegahnya kerja sama yang tidak sehat di antara testee.
c.
Ruangan tes sebaiknya memiliki sistem
pencahayaan dan pertukaran udara yang baik. Ruangan yang gelap atau
remang-remang disamping menyulitkan testee dalam membaca soal dan menuliskan
jawabannya, juga akan menyulitkan bagi tester atau pengawas tes dalam menunaikan
tugasnya. Ruang tes yang terlalu terang atau terlalu menyilaukan mata,
disamping dapat menimbulkan udara panas juga dapat menyebabkan testee cepat
menjadi letih.
3. Prosedur pelaksanaan tes lisan
a.
Sebelum
tes lisan dilaksanakan, seyogyanya tester sudah melakukan inventarisasi
berbagai jenis soal yang akan diajukan kepada testee dalam tes lisan tersebut,
sehingga tes lisan dapat diharapkan memiliki validitas yang tinggi, baik dari
segi isi maupun konstruksinya.
b.
Sebab butir soal yang telah ditetapkan untuk
diajukan dalam tes lisan itu, juga harus disiapkan sekaligus pedoman atau
ancar-ancar jawaban betulnya.
Hal ini dimaksudkan agar tester
disamping mempunyai kriteria yang pasti dalam memberikan skor atau nilai kepada
testee atas jawaban yang mereka belikan dalam tes lisan tersebut, juga tidak
akan terpukau atau terkecoh dengan jawaban panjang lebar atau terbelit-belit
yang diberikan oleh testee, yang menurut anggapan testee merupakan jawaban
betul dan tepat, padahal menurut kriteria yang telah ditentukan sesungguhnya
sudah menyimpang atau tidak ada hubungannya dengan soal yang diajukan kepada
testee.
c.
Jangan sekali-kali menentukan skor atau nilai
hasil tes lisan setelah seluruh testee menjalani tes lisan. Skor atau nilai
hasil tes lisan harus sudah dapat ditentukan di saat masing-masing testee
selesai dites. Hal ini dimaksudkan agar pemberian skor atau nilai hasil tes
lisan yang diberikan kepada testee itu tidak dipengaruhi oleh jawaban yang
diberikan oleh testee yang lain.
4. Prosedur pelaksanaan tes perbuatan
a. Tester harus mengamati dengan secara teliti,
cara yang ditempuh oleh testee dalam menyelesaikan tugas yang telah ditentukan.
b. Agar dapat dicapai kadar obyektivitas
setinggi mungkin, hendaknya tester jangan berbicara atau berbuat sesuatu yang
dapat mempengaruhi testee yang sedang mengerjakan tugas tersebut.
c. Dalam mengamati testee yang sedang
melaksanakan tugas itu, hendaknya tester telah menyiapkan instrumen berupa
lembar penilaian yang didalamnya telah ditentukan hal-hal apa saja yang harus
diamati dan diberikan penilaian
DAFTAR
PUSTAKA
Anas Sudijono, Pengantar Evaluasi Pendidikan, PT
Grafindo Persada, Jakarta, 2008
Djuju Sudjana, Evaluasi Program Pendidikan Luar Sekolah
untuk Pendidikan Nonformal dan Pengembangan Sumber Daya Manusia, PT Remaja
Rosdakarya, Bandung, 2006
M.Ngalim Purwanto, Prinsip-prinsip dan Teknik Evaluasi
Pengajaran, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2006
Masrukhin, Pengembangan Sistem Evaluasi PAI, Media
Ilmu, STAIN Kudus PRESS, 2012
Purwanto, Evaluasi Hasil Belajar, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2009
Suharsimi Arikunto, Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan, Bumi
Aksara, Jakarta, 1999
No comments:
Post a Comment