SIFAT KIKIR (BAKHIL) SALAH SATU INDIKASI GANGGUAN KEJIWAAN
A.
PENDAHULUAN
Secara universal,
manusia adalah makhluk Allah yang memiliki eksistensi keinsanan dan kemakhlukan
yang paling bagus, muliaa, pandai dan cerdas, mendapatkan kepercayaan untuk
menjalankan dan mengembangkan titah-titah amanat-Nya serta memperoleh kasih
sayang-Nya yang sempurna. Sedangkan secara spesifik, yaitu manusia yang telah
mencapai tingkat keimanan dan ketakwaan yang tinggi dan sempurna maka ia
memperoleh martabat, derajat dan titel ketuhanan yang paling tinggi, paling
mulia dan paling lengkap diantara manusia lainnya.
Oleh karena itu syetan
dan iblis, mereka tidak senang kepada manusia yang ingin mengembangkan,
meningkatkan dan memberdayakan esensi potensi keinsanannya. Sejak didalam surga
bapak manusia Adam AS.telah mereka mencampakkan dari langit (surga) dengan
kekuatan rayuan dan jebakan-jebakannya. Dan sejak itulah mereka telah menancapkan
bendera peperangan dan permusuhan dengan berbagai cara menghancurkan eksistensi
Ilahiyah manusia sehancur-hancurnya dipermukaan bumi atau dunia hingga akhirat.
Keberadaan jiwa
seseorang akan dapat diketahui melalui sikap, prilaku atau penampilannya, yang
dengan fenomena itu seseorang dapat dinilai atau ditafsirkan bahwa kondisi
kejiwaan atau rohaniyah dalam keadaan baik, sehat dan benar atau tidak.
Dengan eksisnya jiwa
dalam tingkat ini seseorang akan memiliki stabilitas emosional yang tinggi dan
tidak mudah mengalami stres, depresi dan frustasi. Jiwa muthmainah adalah jiwa
yang senantiasa mengajak kembali kepada fitrah Ilahiyah Tuhannya. Etos kerja
dan kinerja akal fikiran, qalbu, indrawi dan fisiknya senantiasa dalam qudrat
dan iradat Tuhan-Nya yang Maha Qudus dan Agung.
B.
PERMASALAHAN
Berdasarkan latar belakang yang telah
dijelaskan sebelumnya di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam makalah ini
adalah
1. Indikasi gangguan kejiwaan?
2. Sebab gangguan kejiwaan (mental)?
3. Akibat buruk dari gangguan kejiwaan?
C.
PEMBAHASAN
1. INDIKASI GANGGUAN KEJIWAAN
Indikasi atau
tanda-tanda kejiwaan yang tidak stabil sangat banyak diantaranya adalah
1)
Pemarah
Kata marah atau
kemarahan berasal dari kata ghadlaba-yaghdlubu artinya marah; al-ghadlbu dalam
bentuk isim berarti lembu, singa;
al-ghadlbu artinya kemarahan; al-ghudluub artinya ular yang jahat.[1]
Al-ghadzab ialah
perubahan yang terjadi ketika mendidihnya darah didalam hati untuk
memperoleh/meraih kepuasan apa yang terdapat didalam dada.[2]
Adapun cara
mengendalikan kemarahan itu dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain[3]
a. Berdzikir kepada Allah
b. Membaca shalawat kepada Nabi Muhammad
saw
c. Berwudlu atau mandi
d. Membaca “ta’awwudz”
e. Segera mengubah keadaan ketika marah
2)
Dendam kesumat
Dendam ialah sifat
atau sikap suka membalas atas rasa sakit yang telah menderita sebelumnya kepada
orang yang telah menyakiti atau kepada orang lain karena rasa ingin menumpahkan
kemarahan dan kepuasan hawa nafsu yang ada didalam dada, atau sifat tidak
senang memberikan maaf kepada orang lain yang telah menyakiti dan atau telah
menimpakan rasa tidak nyaman.
3)
Pendengki (hasad)
Dengki (hasad) ialah
sifat atau sikap tidak senang melihat orang lain mendapatkan kenikmatan,
kebaikan dan kedamaian dengan berupaya melakukan kejahatan kepadanya.
4)
Takabbur (sombong, angkuh)
Ialah sikap
menyombongkan diri karena merasa dirinya mempunyai banyak kelebihan dan menggap
orang lain mempunyai banyak kekurangan.
5)
Suka pamer (Riya)
Adalah sikap atau
sifat suka menonjolkan diri untuk mendapat pujian yaitu memamerkan dirinya
sebagai orang yang taat kepada Allah.
6)
Membanggakan diri sendiri (‘ujub)
Ialah bermegah diri
atau berbangga diri dan suatu sifat atau sikap merasa paling hebat, paling
pandai, paling gagah, paling mulia, dan sebagainya.
7)
Berburuk sangka (su’uzhzhan)
Ialah sikap yang
selalu curiga atau berpendapat negatif (jelek) kepada sesuatu masalah atau
kondisi.
8)
Was-was
Adalah bisikan-bisikan
halus yang mengandung rayuan dan bujukan untuk melakukan kejahatan dan
pengingkaran trhadap Allah SWT.
9)
Pendusta (kadzib)
Ialah sikap atau sifat
yang suka berbicara tidak benar dari kenyataan, apapun yang ia katakan hanya
berupa kebohongan.
10)
Rakus dan serakah
Ialah suatu sikap yang
sangat berlebihan dalam mencintai dunia, harta benda dan lainnya sehingga
mengalahkan kepentingan agamanya.
11)
Berputus asa
Ialah hilangnya
semangat untuk berjuang meraih suatu kebenaran yang hakiki, hilangnya semangat
bertaubat.
12)
Pelupa (lalai)
13)
Pemalas
Adalah salah satu dari
penyakit hati yang akan melemahkan mental atau kejiwaan bagi pelakunya.
14)
Kikir (bakhil)
Ialah suatu sikap
kengganan atau tidak adanya keinginan untuk memberikan atau mengeluarkan
sebagian hartanya untuk fakir, miskin dan orang-orang yang membutuhkan bantuan.
15)
Hilangnya perasaan malu
2. SEBAB GANGGUAN KEJIWAAN (MENTAL)
a.
Faktor Internal
Gangguan kejiwaan
(mental) akan sangat terlihat pada sikap dan perilakunya telah tertanam sejak
ia dilahirkan kemuka bumi. Bagaimana perkawinan dan hubungan seks yang
dilakukan, setelah dalam masa kehamilan, lahir, pendidikan dari nol hingga
remaja.
b.
Faktor
Eksternal
Penyimpangan dan
pelanggaran yang disebabkan karena faktor
eksternal adalah lebih banyak terfokus pada bagaimana sistem pendidikan
yang telah diberikan kepada individu sejak ia berusia 0 tahun sampai dengan
dewasa (25-40 tahun)
Pendidikan yang
dimaksud adalah pendidikan yang mengarahkan kepada pengembangan dan
pemberdayaan potensi fitrah Ilahiyahnya.
3. AKIBAT BURUK DARI GANGGUAN KEJIWAAN
Akibat-akibat buruk
yang akan ditimbulkan oleh sikap, sifat dan perilaku yang tidak sehat secara
psikologis dalam perspektif Islam adalah padamnya dan lenyapnya “Nur Ilahiyah”
yang menghidupkan kecerdasan-kecerdasan hakiki dari dalam diri seorang hamba,
sehingga ia sangat sulit melakukan adaptasi, baik dengan lingkungan vertikalnya
maupun lingkungan horisontalnya.
Termasuk akibat dari
kedurhakaan kepada Allah adalah ia dapat membuat akal fikiran menjadi rusak,
karena dalam pikiran itu ada cahaya, sedangkan kedurhakaan itu akan memadamkan
cahaya yang terdapat dalam akal itu.
Rusak dan kotornya
mental, spiritual dan moral suatu masyarakat akan membawa kepada kehancuran
yang lebih besar terhadap sistem kehidupan masyarakat itu sendiri, baik dalam
sebuah kelompok kecil maupun besar, seperti dalam sistem keluarga, manajemen
kerja, bangsa maupun negara.
Jadi, akibat mental
atau jiwa yang sakit itu akan memiliki dampak yang sangat membahaya baik bagi
individu, lingkungan keluarga, masyarakat, bangsa dan alam semesta. Oleh karena
itu, masalah ini hendaknya sangat menjadi perhatian utama bagi para psikolog muslim
dan ulama-ulama billah, agar dapat terhindar dari kehancuran yang sangat luas
dan memusnahkan generasi bangsa.
D.
DESKRIPSI KASUS
Disuatu
desa ada keluarga yang sangat harmonis, dalam keluarga itu ada seorang ayah,
ibu, dan 2 orang anak, perempuan dan laki-laki. Dari kabar-kabar
tetangga-tetangganya dan salah satu dari teman anak perempuannya mengatakan
bahwa keluarga itu sangatlah mementingkan dunia saja. Walaupun kesehariannya
rajin ibadah dan anaknya lulusan dari sekolahan yang sangat agamis tapi anak
itu sangat peritungan dalam hal beramal.
Di suatu ketika, salah satu anaknya
dibelikan sebuah netbook dan dibawa ke kampus. Biasanya teman-teman lain kalau
dapat sesuatu yang di inginkan pasti akan syukuran tapi sebaliknya anak itu
malah mengelak dan berbohong pada teman-temannya bahwa itu bukan miliknya
sendiri melainkan pinjam dari temannya. Begitu juga dengan orang tuanya, mereka
juga sangat mudah iri dengan keberhasilan orang-orang disekitarnya, sehingga
apa yang dmiliki oleh orang lain maka mereka juga ingin memilikinya.
E.
ANALISIS
Bagi siapa saja yang telah
mempersiapkan diri untuk menjadi seorang hamba dan khalifah Allah Ta’ala yang
sejati dan benar-benar ingin menceburkan diri kedalam ajaran keimanan,
keislaman, keihsanan dan ketauhidan yang sempurna, maka suatu keharusan bahkan
kewajiban yang mutlak baginya untuk dapat memahami dengan mengenal secara dalam
dan mengakar tentang diri dan esensi diri secara utuh dan tidak
setengah-setengah. Ia harus fahan dengan seluruh problematika hidup dan kehidupan
yang dialami oleh manusia baik manusia dalam hubungannya dengan masalah
jasmaniyah maupun manusia dalam hubungannya dengan masalah rohaniyah.
Jadi kemampuan atau potensi seseorang
untuk dapat memahami masalah rohaniyah adalah tergantung kepada kualitas ketakwaannya
kepada Allah SWT.dalam makna yang sesungguhnya.
Jika seseorang telah dapat memahami dan
mengenal dengan baik tentang dirinya baik dari aspek materialnya (jasmaniyah),
lebih-lebih aspek spiritulnya (rohaniyah), maka ia akan dapat merasakan fungsi
potensial mengenal secara mendalam tentang eksistensi ruh dan hal-ihwalnya
dapat dicapai melalui bimbingan dan pengajaran Allah Ta’ala melalui pancaran
Nur Ilahiyah yang dihasilkan dari esensi ketakwaan dan penghambaan yang sangat
tinggi dan suci kepada-Nya.
F.
KESIMPULAN
Jika pendidikan keislaman telah
diberikan kepada anak sejak dalam kandungan, sejak usia bayi hingga ia balig
dan mencapai dewasa, dengan metode dan sisten yang integritas antara teori,
aplikasi dan empirik, maka sang anak akan terhindar dari masuknya syetan-syetan
dan iblis-iblis. Begitu pula mereka yang telah berada didalam diri akan keluar
dan tidak kuasa melakukan ekspansi kejahatan yang mendalam dan mengakar. Ujian
demi ujian yang Allah berikan kepada mereka, dapat dengan baik dilaluinya
dengan prestasi yang gemilang. Keimanan mereka terus semakin mudah meningkat,
keislaman mereka semakin memiliki wawasan yang berkualitas, keihsanan mereka
semakin indah dan agung serta ketauhidan mereka semakin menyatu dengan
ketauhidan Tuhan-Nya.
DAFTAR PUSTAKA
Hamdani Bakran Adz-Dzaky, konseling dan psikoterapi islam, Fajar
Pustaka Baru, Yogyakarta, 2002, cet.2
Ahmad Warson Munawir, al-Munawir
kamus Arab-Indonesia, Unit Pengadaan Buku Ilmiah Keagamaan Pondok Pesantren
Al-Munawir, Krapyak Yogyakarta.
Asy-Syarif Ali Bin Muhammad Al-Jurjaniy, At-Ta’rifaat, Dasar Al-Kutub Al-Ilmiah, Baerut Libanon, 1988.
Ali Usman, KHM.,HAA,Dahlan dan HMD.Dahlan, Hadits Qudsi, CV.Diponegoro, Bandung, 1984.
[1]
Ahmad Warson Munawir, al-Munawir kamus
Arab-Indonesia, Unit Pengadaan Buku Ilmiah Keagamaan Pondok Pesantren
Al-Munawir, Krapyak Yogyakarta, tt.p.1082
[2]
Asy-Syarif Ali Bin Muhammad Al-Jurjaniy, At-Ta’rifaat,
Dasar Al-Kutub Al-Ilmiah, Baerut Libanon, 1988, p.162
[3]
Ali Usman, KHM.,HAA,Dahlan dan HMD.Dahlan, Hadits
Qudsi, CV.Diponegoro, Bandung, 1984, p.393
No comments:
Post a Comment